Sabtu Bersama Bapak: Rencana, Rencana, Bencana

Sabtu Bersama Bapak | 2016 | Durasi: 90 menit | Sutradara: Monty Tiwa| Produksi: Maxima Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Abimana Aryasatya, Ira Wibowo, Acha Septriasa, Arifin Putra, Deva Mahenra

Sebenarnya apa yang direncanakan Monty Tiwa dan Adhitya Mulya? Apa yang ingin disampaikan ayah kepada anak-anaknya? Apakah hanya sebatas petuah-petuah tentang hidup? Ya sah-sah saja jika itu memang jawabannya. Namun sejujurnya saya tidak merasakan apa pun sepanjang film ini diputar. Entah karena hati saya terlalu bebal atau memang film ini yang bikin sebal?

Adegan awal film Sabtu Bersama Bapak dibuka dengan adegan cengeng yang terlalu terburu-buru. Bukannya bikin tertarik, adegan ini malah membuat saya mengangakan mulut sambil memejamkan mata sebentar. Penonton lain pun belum siap menguraikan air mata. Karena belum apa-apa sudah disuruh menangis. Masalahnya apa yang harus ditangisi? Ceritanya saja baru dimulai. Para penonton belum mengenal tokoh yang sepertinya pasangan suami-istri itu bahkan pembaca buku Adhitya Mulya pun belum tentu tahu mereka siapa. Apa yang terjadi pada pasangan tersebut belum bisa dipahami penonton. Jadi ya wajar bila tidak ada yang menangis.

Sabtu Bersama Bapak? Maksud dari judul film ini sudah disampaikan jelas oleh tokoh bapak lewat ceramahnya di televisi kelak. Namun siapakah sosok bapak? Saya tidak merasa diberikan kesempatan mengenalnya. Sejak awal sang bapak sudah jatuh sakit kanker yang dapat dilihat dari adegan laiknya sinetron televisi. Sang bapak berpura-pura tegar dan sang ibu menangis sambil berusaha tegar. Sebenarnya boleh saja sama-sama sok tegar dalam kesedihan tapi sekali lagi ini terasa dilebih-lebihkan karena saya belum mengenal kedua tokoh tersebut. Akhirnya saya belum siap jatuh dalam larutan isak tangis kedua pasangan ini.

Sosok ayah yang entah mengapa punya ide untuk merekam video untuk anak-anaknya kelak. Mengapa video? Mungkin saja sang bapak suka merekam video sejak masih muda atau memang bekerja sebagai videografer lepas atau apa pun yang berhubungan dengan video. Prediksi-prediksi ini tidak ada celah untuk benar karena tidak ada sedikit pun petunjuk yang diberikan. Sayangnya Monty Tiwa dan Adhitya Mulya malah mengajak penonton main rahasia-rahasian, bukan main petak umpet yang tidak merem itu loh.

Pemilihan pemeran bapak dan ibu juga terlihat tidak cocok termasuk masalah umur Abimana Aryasatya dan Ira Wibowo yang terlampau jauh. Abimana berperan dengan lugas sebagai bapak dari dua anak laki-laki; Ira berperan sebagai ibu yang siap tidak siap harus ditinggalkan suaminya. Keduanya berperan sendiri-sendiri dalam tangisan dan janji masa depan tanpa hubungan kuat dan jelas antarkeduanya. Lagi-lagi rahasia apa yang disembunyikan cerita film ini.

Selain itu, peran anak kecil dalam film sama sekali tidak bisa bermain peran. Dua anak yang menjadi Satya dan Saka masih kecil dan dua anak yang menjadi Miku dan Rian. Kasihan keempat anak ini terpaksa menghabiskan waktu bermainnya di tempat shooting berjam-jam lamanya hanya untuk menjadi figuran kosong saja. Mereka berempat hanya menjadi diri mereka sendiri sebagai anak-anak pada umumnya bukan sebagai Satya, Saka, Miku ataupun Rian. Tatapan mata mereka kemana-mana sering kali melihat kamera. Kasihan mereka jadi bermain peran bukan bermain petak umpet

Belum selesai soal para pemeran, ada lagi soal bahasa sunda. Bahasa memang untuk berkomunikasi antar sesama tapi jangan lupa bahasa juga memilki rasa. Setiap bahasa khususnya bahasa daerah di Indonesia memiliki rasa dan ciri khasnya masing-masing. Bahasa sunda yang digunakan dalam beberapa percakapan dalam film ini hanya tempelan di permukaan cerita saja. Bahasa sunda ataupun karakter orang sunda tidak tampak sama sekali dalam film ini. Kata “Kang” dan “Neng” malah terdengar aneh saat percakapan berlangsung. Kitu-kitu teuing euy cing atuhlah.

Jika dibandingkan dengan film berbahasa daerah lain seperti Tabula Rasa (2014) yang menggunakan bahasa minang. Saya benar-benar merasakan rasa bahasa dari bahasa minang yang dituturkan para pemerannya. Bahasa minang menjadi bagian penting dalam cerita yang memang berbudaya minang. Dewi Irawan, Yayu Unru, dan Ozzol Ramdan pun tidak terpaksa berbahasa minang dalam cerita, terlepas mereka memang orang minang atau bukan. Ketiganya mampu membuat penonton larut dalam cerita, bukan malah bertanya-tanya mereka orang mana.

Kutipan bijak sang bapak, “Rencana, rencana, rencana” malah menjadi pukulan telak bagi Satya yang selalu merencanakan masa depan dengan berpikir pendek. Justru petuah sang bapak ini malah jadi masalah bagi Satya dan keluarganya. Di sisi lain, hidup Saka malah tidak terpapar ilusi sang bapak yang dulu sering muncul di tv setiap sabtu. Ia sibuk dengan urusan mencari teman hidup –meminjam diksi Saka. Mungkin sang bapak lupa memberikan tips dan trik mendekati perempuan. Kasihan Saka.

Sepanjang film yang saya ingat betul saat geng pegawai bank membantu bosnya, Saka untuk mendekati Ayu. Banyak candaan receh ala ftv sabtu siang yang untungnya masih menghibur para penonton di beberapa adegan. Apalagi candaan soal bunga antara Saka dan Ayu yang banal tapi yaudahlah lumayan. Bagian hidup Saka dalam film ini memang penuh ketawa-ketiwi tidak seperti hidup kakaknya, Satya. Hubungan Saka dan Ayu ditutup dengan adegan yang semua penonton duga. Cerita Saka dan Ayu bisa jadi berlanjut di ftv dengan judul, “Sabtu Bersama Saka dan Ayu” setiap sabtu.

Lalu apa yang sebenarnya direncanakan Monty Tiwa dan Adhitya Mulya? Sampai akhir film selesai saya tidak merasakan rencana matang dari film drama keluarga ini. Berbanding terbalik, saya malah merasakan bencana dalam cerita tentang sosok ayah ini. Jadi wajar saja kutipan bijak sang bapak berubah menjadi, “Rencana, rencana, bencana” setelah selesai film diputar.

6 thoughts on “Sabtu Bersama Bapak: Rencana, Rencana, Bencana

  1. Srikandi says:

    Have you ever read the book before you watch it?

    Kalau belum, wajar sih banyak kritik. Sama kayak orang tiba2 nonton Harry Potter atau Da Vinci Code. Lebih banyak bertanya2 dan ga ngerti nya.. Karena buku yg di filmkan takkan pernah sesempurna bukunya. Saran saya, baca dulu.. Tonton.. Baru comment. Itu lebih fair menurut saya.
    Thanks for your consideration..

    Like

    1. Rasyid Baihaqi says:

      sebelumnya terima kasih sudah mau baca dan komentar. kebetulan saya belum baca bukunya. nanti saya baca sambil baca buku Tuesday with Morrie –yang katanya mirip novel Sabtu Bersama Bapak. tulisan ini bukan menilai adaptasi film dari buku, saya hanya menilai filmnya. itu batasan yang saya ambil dalam menulis tulisan ini.

      buku dan film merupakan medium yang berbeda dengan karakteristik dan ciri khasnya masing-masing. jadi wajar jika membandingkan film dan buku pasti akan menimbulkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. terima kasih.

      Like

  2. Nur Diana says:

    hehe iya syid bisa dibilang sudah jadi prosedur tak tertulis baca bukunya dulu baru nonton filmnya. karena kalo baca buku nya, disamping cerita yang “mengagetkan” tiba-tiba pak Gunawan meninggal karena kanker, banyak value yang bisa diambil dan sebenernya memang yang ditekankan dalam sabtu Bersama Bapak ini adalah nilai-nilai di keluarga bukan drama sendu itu sendiri. Itu menurut gue sih, maaf kalo sok tau.

    Like

    1. Rasyid Baihaqi says:

      sebelumnya terima kasih ner udah mau baca dan komenter tulisan ini. menurut saya bagaimanapun jika dibandingkan film takkan sedetail buku, wajar kalau banyak cerita yang kadang tak ada di film tapi di buku ada. namun justru itu tantangannya. karakteristik film yang terbatas oleh waktu dan ruang membuat pembuatnya harus memilih bagian mana yang perlu hadir untuk menguatkan cerita.

      Liked by 1 person

  3. Nur Diana says:

    btw beda bangetttt ini mah sama tuesday with morrie. coba tengok buku tere liye yang ayah aku bukan pembohong trus nonton film big fish deh, nah itu baru mirip, saking mirip nya hampir semua isi ceritanya sama (no offense)

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.